ambisi harta
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda yang artinya :
"Kerusakan yang ditimbulkan akibat ambisi seseorang terhadap harta dan kemuliaan tidak lebih kecil dari kerusakan seekor kambing akibat dilepasnya dua serigala yang lapar kemudian keduanya pergi menuju kambing tersebut." (HR Imam Ahmad, Nasa-i, Tirmidzi, Ibnu Hibban dalam "Shahihnya",dll. Imam Tirmidzi berkata : Hadits ini derajatnya hasan shahih.)
Hadits di atas berisi tentang permisalan yang sangat agung, Nabi shallallahu `alaihi wasallam mencontohkan tentang kerusakan dien (agama) seorang muslim disebabkan ambisinya terhadap harta dan kemulyaan di dunia. Permisalan yang agung ini sebagai suatu peringatan yang keras bahwasanya siapa yang tujuan hidupnya ambisius untuk meraih harta dan kemuliaan maka pasti keburukan yang akan menimpa orang tersebut. Ambisi terhadap harta ada dua macam :
1. Cinta yang berlebihan terhadap harta, dan memforsir diri dalam mencari harta yang halal.
Seandainya akibat buruk yang ditimbulkan dari ambisi yang pertama ini hanya menyebabkan sia-sianya umur kita -padahal semestinya bisa digunakan untuk mencapai derajat yang tinggi disisi Allah dan mendapatkan nikmat yang abadi- maka itu saja sudah cukup untuk menunjukkan tercelanya ambisi terhadap harta.
2. Mencari harta dengan cara yang haram dan menahan hak-hak orang lain.
Allah berfirman yang artinya : "Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung." (AtTaghabun :16)
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda yang artinya :
Takutlah kalian akan kekikiran, sesungguhnya kekikiran itu telah membinasakan orang-orang yang hidup sebelum kalian, kekikiran itu membawa mereka untuk menumpahkan darah dan menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah." (H.R. Muslim)
Adapun ambisi terhadap kemuliaan lebih berbahaya dan lebih mencelakakan dibanding dengan ambisi terhadap harta, karena manusia tidak segan-segan mengerahkan hartanya untuk mencapai kekuasaan dan kemuliaan.
Ambisi terhadap kemuliaan terdiri dari dua macam pula:
1. Mencari kemuliaan melalui jabatan, kekuasaan, dan harta.
Hal ini berbahaya sekali, dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan kenikmatan akhirat, disamping itu dia akan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dirinya dan merugikan orang lain. Ia akan menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuannya, apabila telah berhasil mencapai tujuannya dia akan mempertahankan "status quo" dan kekayaannya dengan melakukan kedzaliman, kesombongan, dan segala bentuk kerusakan lainnya. Allah berfirman (yang artinya) : "Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa" (Al Qashash : 83)
2. Mencari kemuliaan dan kedudukan yang tinggi di hadapan manusia melalui agama, seperti dengan ilmu, amalan, dan dan ibadah.
Point ini lebih buruk dan lebih berbahaya dari point sebelumnya. Bentuk yang kedua ini dibagi menjadi dua bagian :
a). Tujuannya untuk mencari harta, maka macam yang ini dikategorikan kedalam ambisi terhadap harta dan mencarinya dengan cara yang haram, karena Nabi Shallallahu `Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya):
"Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya dimaksudkan untuk mencari ridha Allah, akan tetapi dia mencarinya semata-mata untuk mencari perhiasan dunia, maka dia tidak akan mencium bau surga di hari kiamat." (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dalam `shahihnya).
b). Tujuannya untuk mencari kedudukan dan pengaruh atas manusia serta mencari penghormatan manusia sehingga manusia tunduk dan patuh kepadanya, ia ingin menjadi pusat perhatian manusia dan mencari popularitas, dan ingin menampakkan kepada manusia kelebihan ilmunya dibandingkan ilmu para ulama. Dia ini tempatnya adalah di api neraka. Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya) :
"Barangsiapa menuntut ilmu agar ia dapat berdebat dengan orang-orang bodoh, atau untuk menandingi ulama, atau untuk mencari perhatian manusia maka Allah akan memasukkannya kedalam api neraka." H.R. Tirmidzi (5/32 nomor 2654) dari hadits Ka`ab bin Malik dan oleh Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar (1/93 no 253) dan hadits Hudzaifah (1/96 no 259)
Komentar
Posting Komentar