Bismillaahirrahmaanirrahiim
Nabi Ibrahim (A.S) dikenal dengan sebutan Khalilullah (kekasih
ALLAH), merupakan ‘Bapak Peradaban’ yang pertama sekali membangun dan
membina Ka’Bah. Pada mulanya, ketika Ibrahim (A.S) hijrah ke daerah yang
sekarang bernama Makkah Al-Mukarramah, Ibrahim bersama Hajar dan Ismail
putranya tidak mendapati satu kampungpun di daerah itu selain gurun
pasir yang tandus. Ibrahim kemudian meninggalkan istrinya Hajar bersama
Ismail yang sudah tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan, untuk mencari
makanan dan tempat yang bisa dijadikan naungan. Dalam perjalanannya
itulah, ketika Hajar ditinggal Ibrahim (yang dalam hikayat sekarang disebutkan kembali ke Hebron untuk menemui istrinya Sarah),
dengan Ismail yang menangis kehausan, Hajar mencari sumber air di
sekitar bukit Shafa dan Marwa. Peristiwa ini yang sekarang diamalkan
dalam haji dan umrah sebagai Sa’i (namun sebenarnya bukanlah termasuk
ibadah dalam haji).
Ketabahan Hajar berbuah hasil, ketika ia akhirnya menemukan sumber mata air yang tak putus-putus dan tak habis-habis di bawah kaki Ismail yang kala itu meronta-ronta kehausan. Sumber mata air itu sekarang dikenal dengan nama zamzam.
Selang beberapa waktu ketika Ibrahim kembali dan mendapati istri dan
anaknya tengah berteduh, Hajar menceritakan bagaimana ia menemukan mata
air tadi. Ibrahim pula melihat harapan di tanah baru yang disebutnya
kemudian ‘Tanah Harapan’. Ibrahim kemudian mulai membangun rumah untuk
berteduh ia, istri dan anaknya. Sementara itu, beberapa orang musafir
yang sempat mampir untuk beristirahat pula melihat harapan di tanah itu
dengan adanya mata air yang tak putus-putus tadi (zamzam). Perlahan demi
perlahan, kafilah lain pun ikut tinggal di sekitar rumah yang dibangun
Ibrahim.
Ibrahim (A.S) adalah seorang yang hanif. Dengan keyakinannya akan Tuhan Yang Satu (Ahad), Yang Menciptakan dan Maha Berkuasa, Ibrahim sering melalui perenungan yang panjang. Selaiknya para utusan ALLAH yang lain, nabi maupun rasulnya yang memang memiliki hati seorang shalih. Sementara pada kala itu, kepercayaan nenek moyang bangsa Arab terhadap tuhan-tuhan sembahan yang diwujudkan dengan rupaan (dapat berbentuk patung atau benda-benda yang dianggap keramat) masih kuat tertanam bahkan di antara masyarakat yang baru berkembang di Mukaraba (Makkah sekarang).
Masyarakat arab pada saat itu kebanyakan hidup dari hasil berburu, hasil rampasan perang antar kabilah dan sangat sedikit di antara mereka yang mengenal praktek barter (tukar menukar barang). Maka ular, anjing, kibas, kerbau, apapun dapat dimakan sejauh itulah yang mereka dapatkan dari hasil perburuan untuk menafkahi keluarganya. Sementara itu belumlah ada pengetahuan (seperti yang kita punyai sekarang) kalau apa-apa yang kita makan, saripatinya, secara tidak langsung akan mempengaruhi pada sifat, tabiat dan perilaku kita. Seperti haramnya babi bagi seorang muslim karena kandungan lemak babi yang tidak menyehatkan, makanan babi yang merupakan sampah-sampah busuk dan kotoran, dan sifat babi yang jorok serta tidak acuh pada sekitarnya.
Meskipun sudah hidup berkelompok, masyarakat arab pada saat itu hidup tanpa aturan baku dengan mencuri atau membunuh adalah perkara biasa. Siapa yang kuat ialah yang berkuasa. Siapa yang mampu ialah yang memimpin. Meski Ibrahim (A.S) adalah pembina peradaban di Mukaraba pada waktu itu, namun tidak lantas pula ia menjadi pemimpin khafilah di negeri baru itu. Masing-masing puak dan keluarga hidup dengan aturan dan cara mereka sendiri.
Pada suatu hari dalam perenungannya Ibrahim (A.S) mendapatkan pengetahuan mengenai sumber makanan yang baik. Yang dalam pengamatannya, makanan yang baik akan menjadikan seseorang menjadi baik. Ia dahulu juga tidak dibesarkan dari makanan yang mengandung darah. Karena itu ketika perintah ALLAH turun kepadanya (melalui pengetahuan) mengenai makanan yang baik, Ibrahim pun menyembelih salah satu kibas peliharaannya. Ibrahim pula menyeru kaumnya untuk meninggalkan makanan dari daging hewan liar, melata atau buas dengan dasar pemikirannya yang tadi, bahwa makanan yang baik akan menghasilkan generasi yang baik pula. Kaumnya waktu itu menanggapi perkataan Ibrahim sang orang shalih sebagai orang yang terlalu menjaga hal-hal yang sebenarnya menurut mereka tidak perlu dikhawatirkan. Karena kelezatan daging ular memang bagi masyarakat arab yang berdarah panas tidak ada bandingannya.
Kepercayaan Ibrahim dan ajakannya terhadap kebaikan dan mengenalkan kaumnya terhadap ALLAH, Tuhan Yang Satu (Ahad) lama-kelamaan membuat kaumnya berang dan merasa Ibrahim (A.S) terlalu mencampuri kehidupan dan kepercayaan mereka terhadap nenek moyang. Berbagai fitnah pun dilontarkan, sampai pernah terdengar kabar kalau Ibrahim demi Tuhannya Yang Satu telah menyembelih putranya sendiri, Ismail sebagai wujud pengorbanan dan ketaatannya terhadap Tuhannya tadi. Peristiwa inilah yang sekarang dikenal dengan sebutan qurban, yang diwajibkan bagi kaum muslimin di setiap hari raya Idul Adha (hari raya haji).
Wallaahu ‘alam bish shawab
sumber: http://www.mushola.org/
Ketabahan Hajar berbuah hasil, ketika ia akhirnya menemukan sumber mata air yang tak putus-putus dan tak habis-habis di bawah kaki Ismail yang kala itu meronta-ronta kehausan. Sumber mata air itu sekarang dikenal dengan nama zamzam.
Ibrahim (A.S) adalah seorang yang hanif. Dengan keyakinannya akan Tuhan Yang Satu (Ahad), Yang Menciptakan dan Maha Berkuasa, Ibrahim sering melalui perenungan yang panjang. Selaiknya para utusan ALLAH yang lain, nabi maupun rasulnya yang memang memiliki hati seorang shalih. Sementara pada kala itu, kepercayaan nenek moyang bangsa Arab terhadap tuhan-tuhan sembahan yang diwujudkan dengan rupaan (dapat berbentuk patung atau benda-benda yang dianggap keramat) masih kuat tertanam bahkan di antara masyarakat yang baru berkembang di Mukaraba (Makkah sekarang).
Masyarakat arab pada saat itu kebanyakan hidup dari hasil berburu, hasil rampasan perang antar kabilah dan sangat sedikit di antara mereka yang mengenal praktek barter (tukar menukar barang). Maka ular, anjing, kibas, kerbau, apapun dapat dimakan sejauh itulah yang mereka dapatkan dari hasil perburuan untuk menafkahi keluarganya. Sementara itu belumlah ada pengetahuan (seperti yang kita punyai sekarang) kalau apa-apa yang kita makan, saripatinya, secara tidak langsung akan mempengaruhi pada sifat, tabiat dan perilaku kita. Seperti haramnya babi bagi seorang muslim karena kandungan lemak babi yang tidak menyehatkan, makanan babi yang merupakan sampah-sampah busuk dan kotoran, dan sifat babi yang jorok serta tidak acuh pada sekitarnya.
Meskipun sudah hidup berkelompok, masyarakat arab pada saat itu hidup tanpa aturan baku dengan mencuri atau membunuh adalah perkara biasa. Siapa yang kuat ialah yang berkuasa. Siapa yang mampu ialah yang memimpin. Meski Ibrahim (A.S) adalah pembina peradaban di Mukaraba pada waktu itu, namun tidak lantas pula ia menjadi pemimpin khafilah di negeri baru itu. Masing-masing puak dan keluarga hidup dengan aturan dan cara mereka sendiri.
Pada suatu hari dalam perenungannya Ibrahim (A.S) mendapatkan pengetahuan mengenai sumber makanan yang baik. Yang dalam pengamatannya, makanan yang baik akan menjadikan seseorang menjadi baik. Ia dahulu juga tidak dibesarkan dari makanan yang mengandung darah. Karena itu ketika perintah ALLAH turun kepadanya (melalui pengetahuan) mengenai makanan yang baik, Ibrahim pun menyembelih salah satu kibas peliharaannya. Ibrahim pula menyeru kaumnya untuk meninggalkan makanan dari daging hewan liar, melata atau buas dengan dasar pemikirannya yang tadi, bahwa makanan yang baik akan menghasilkan generasi yang baik pula. Kaumnya waktu itu menanggapi perkataan Ibrahim sang orang shalih sebagai orang yang terlalu menjaga hal-hal yang sebenarnya menurut mereka tidak perlu dikhawatirkan. Karena kelezatan daging ular memang bagi masyarakat arab yang berdarah panas tidak ada bandingannya.
Kepercayaan Ibrahim dan ajakannya terhadap kebaikan dan mengenalkan kaumnya terhadap ALLAH, Tuhan Yang Satu (Ahad) lama-kelamaan membuat kaumnya berang dan merasa Ibrahim (A.S) terlalu mencampuri kehidupan dan kepercayaan mereka terhadap nenek moyang. Berbagai fitnah pun dilontarkan, sampai pernah terdengar kabar kalau Ibrahim demi Tuhannya Yang Satu telah menyembelih putranya sendiri, Ismail sebagai wujud pengorbanan dan ketaatannya terhadap Tuhannya tadi. Peristiwa inilah yang sekarang dikenal dengan sebutan qurban, yang diwajibkan bagi kaum muslimin di setiap hari raya Idul Adha (hari raya haji).
Wallaahu ‘alam bish shawab
sumber: http://www.mushola.org/
Komentar
Posting Komentar